Oleh : Hj. Nevi Zuairina,
Anggota DPR RI Komisi XII, Dapil Sumatera Barat II
Idul Fitri 1446 Hijriah yang kita rayakan tahun ini bukan sekadar hari besar keagamaan, melainkan juga momentum batiniah yang sangat penting bagi bangsa kita, khususnya masyarakat Sumatera Barat. Setelah satu bulan penuh menjalani ibadah Ramadan dengan menahan diri, melatih kesabaran, dan memperkuat spiritualitas, tibalah saatnya kita kembali pada fitrah kemanusiaan—bersih hati, jernih pikiran, dan luas dalam memaafkan. Inilah esensi Idul Fitri: menyatukan hati, mempererat tali persaudaraan, serta memperkuat solidaritas sosial di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.
Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, makna Idul Fitri tidak lepas dari filosofi "sakik samangko labuah nan tatingga, satingga harato rang basamo." Segala yang diderita, dibagi; segala yang tersisa, dinikmati bersama. Kebersamaan yang dibangun di atas nilai keadilan dan kepedulian menjadi kekuatan khas dari ranah ini. Ketika Idul Fitri tiba, tradisi pulang basamo bukan hanya sekadar ritual pulang kampung, melainkan perjalanan spiritual menuju akar budaya dan kekeluargaan. Ini adalah manifestasi nyata dari semangat gotong royong yang tumbuh dalam jalinan sosial masyarakat Minang.
Namun, tahun ini kita merayakan Idul Fitri dalam suasana yang berbeda. Indonesia, dan Sumatera Barat secara khusus, sedang menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan. Ketidakpastian global, fluktuasi harga pangan, nilai tukar rupiah yang masih tertekan, serta tekanan fiskal yang dialami pemerintah pusat menjadi rangkaian dinamika yang langsung berdampak pada rakyat. Banyak pelaku UMKM, petani kecil, dan pedagang pasar rakyat yang mulai merasakan beban berat akibat turunnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, pemerintah harus mengambil kebijakan pengetatan anggaran, termasuk penyesuaian pada sejumlah belanja publik yang selama ini menopang aktivitas ekonomi di daerah.
Sebagai anggota Komisi XII yang membidangi keuangan, perbankan, dan ekonomi nasional, saya melihat bahwa masa transisi pemerintahan tahun ini merupakan ujian yang berat. Pemerintah baru dihadapkan pada tugas besar: membalikkan situasi yang belum menguntungkan menjadi arah kebijakan yang lebih stabil dan berpihak kepada rakyat. Stabilitas ekonomi bukan hanya soal angka-angka makro, tapi juga bagaimana keadilan distribusi bisa dirasakan oleh masyarakat di lapisan paling bawah—terutama mereka yang hidup di nagari-nagari yang jauh dari pusat pembangunan.
Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat solidaritas sosial yang diajarkan oleh Idul Fitri. Dalam konteks Sumatera Barat, kita mengenal falsafah "duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang." Saat kita duduk sendiri, ruang menjadi sempit; saat kita duduk bersama, persoalan terasa ringan. Gotong royong bukan sekadar kerja fisik, tetapi kekuatan moral untuk saling menopang. Ketika ada tetangga yang kekurangan beras, warga lainnya patungan; ketika anak muda nagari kehilangan pekerjaan, masyarakat setempat saling mencarikan solusi.
Kita harus menjaga semangat ini tetap hidup, tidak hanya dalam bentuk tradisi, tetapi juga dalam kebijakan. Pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan generasi muda harus mulai menumbuhkan inisiatif-inisiatif lokal—dari koperasi petani, kelompok usaha bersama, hingga jaringan distribusi pasar rakyat yang adil dan transparan. Program-program ini tidak bisa berjalan tanpa kebersamaan, tanpa nilai gotong royong yang menjadi ruh dari masyarakat kita.
Idul Fitri juga menjadi saat yang tepat untuk memperkuat sinergi antara nilai agama dan agenda pembangunan. Islam mengajarkan keadilan, kepedulian, dan pemerataan. Maka sudah selayaknya, kebijakan ekonomi yang dijalankan ke depan tidak hanya mementingkan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan. Kita tidak boleh membiarkan ada anak nagari yang tidak bisa sekolah karena biaya, atau ibu rumah tangga yang harus mengurangi makan karena harga bahan pokok terlalu tinggi. Kita tidak boleh kehilangan empati sosial hanya karena angka-angka di atas kertas menunjukkan pertumbuhan.
Sebagai wakil rakyat dari Sumatera Barat II, saya menyaksikan langsung denyut nadi kehidupan masyarakat di pelosok Pasaman Barat, Agam, Lima Puluh Kota, dan kabupaten/kota lainnya. Saya tahu betul bahwa masyarakat kita kuat, tangguh, dan tidak mudah menyerah. Tapi mereka juga membutuhkan kehadiran negara yang nyata—melalui harga pangan yang stabil, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta dukungan terhadap UMKM dan petani kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Momentum Idul Fitri ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa membangun bangsa tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Butuh keterlibatan seluruh elemen masyarakat. Butuh semangat kolektif untuk saling mendukung, saling menguatkan, dan saling mendoakan agar bangsa ini bisa keluar dari tekanan ekonomi dan bangkit dengan lebih bermartabat di mata dunia.
Mari kita jadikan Idul Fitri ini sebagai pijakan baru untuk membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan berkepribadian. Kita mulai dari hal-hal kecil—dari rumah kita, dari nagari kita, dari pasar kita. Sebab perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran yang tumbuh dalam hati, lalu diterjemahkan dalam tindakan sehari-hari.
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk menghadapi tantangan dengan iman, menyelesaikan persoalan dengan kebersamaan, dan menapaki masa depan dengan penuh harapan.