Bernama.id - Jakarta l Anggota Komisi II DPR RI, Rahmat Saleh, mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk melantik kepala daerah terpilih tanpa sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai jadwal pada Februari 2025.
Rahmat sendiri tak setuju dengan wacana penundaan pelantikan hingga Maret 2025 yang dinilai tidak berdasar.
"Persoalan apa yang membuat pelantikan kepala daerah terpilih tanpa sengketa di MK harus diundur? Ini menjadi pertanyaan kita," ujar Rahmat di Jakarta, Senin (13/1/2025).
Rahmat menegaskan, pelantikan seharusnya tetap mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024, yakni 7 Februari 2025 untuk gubernur dan wakil gubernur, serta 10 Februari 2025 untuk bupati dan wali kota.
Menurutnya, tidak ada alasan hukum untuk menunda pelantikan karena tidak ada perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK. “Pelantikan wajib dilaksanakan sesuai ketentuan, kecuali ada putusan MK yang harus ditunggu,” tegasnya.
Penundaan Berpotensi Timbulkan Masalah Baru
Rahmat mengatakan, alasan penundaan yang hanya demi keseragaman, tanpa dasar hukum yang jelas. Ia mengingatkan bahwa jika terjadi pemungutan suara ulang (PSU) di daerah bersengketa, penundaan akan menjadi alasan baru yang memperpanjang proses.
"Kita tidak ingin ada alasan tambahan akibat PSU. Pelantikan harus berjalan sesuai rencana," ujarnya.
Dampak Penundaan pada Pelayanan Publik
Rahmat juga menyoroti dampak penundaan yang dapat merugikan masyarakat dan pemerintahan daerah. Ia khawatir terjadi kekosongan kepemimpinan di daerah yang berujung pada penunjukan Penjabat (Pj), yang dinilai kurang optimal dalam menjalankan program kerja.
"Ada harapan dan janji kepala daerah terpilih yang ingin segera diwujudkan. Jika ditunda, masyarakat yang dirugikan, dan tugas-tugas pemerintahan pun terhambat," ungkapnya.
Rahmat meminta Mendagri segera mengambil langkah tegas untuk melantik kepala daerah yang tidak bersengketa sesuai jadwal. “Jangan biarkan penundaan ini menghambat pembangunan dan pelayanan publik di daerah,” tutupnya. (TPHRS)