Oleh: Irsyad Syafar (Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat)
Ada rasa bahagia bercampur bangga ketika melihat semakin banyaknya bangunan masjid yang bagus dan indah di daerah kita. Baik di Sumatera Barat, maupun di provinsi lain. Disamping indah, bangunan masjid tersebut juga rapi dan sangat kondusif untuk berlama-lama beribadah di sana. Suhu udaranya sejuk karena ventilasi dan sirkulasi udara yang bagus, juga ditambahi dengan kipas yang memadai jumlahnya, bahkan juga AC yang cukup dingin. Ada fasilitas toilet yang bersih dan area parkir yang aman dan nyaman.
Diantara masjid-masjid yang bagus dan indah itu di Sumbar adalah: Masjid Al Hakim dan Mujahidin di tepi pantai Padang, masjid Rahmatan lil’alamin di kampus UPI Padang, masjid Baiturrahmah di komplek Rumah sakit Siti Rahmah, masjid Ummi di tepi danau di ateh, Masjid An Nur di Piladang, Masjid Muthmainnah Padang Tarok Baso, Masjid Quba di Tanah Datar, masjid Al Hidayah kampus UMSB Payakumbuh, dan lain-lain masih banyak lagi. Termasuk tentunya Masjid Raya Sumbar yang dibangun oleh Pemprov Sumbar semenjak kepemimpinan Bapak Gubernur Gamawan Fauzi.
Mayoritas masjid yang indah dan bagus tersebut dibangun dengan swadaya masyarakat sekitarnya, disuppor secara maskimal oleh para perantau mereka. Bahkan sebagian dari masjid tersebut dibangun atas biaya pribadi dari satu orang saja atau satu keluarga. Ini tentunya suatu nikmat dan juga amal shaleh yang luar biasa. Sebab membangun masjid itu sangat besar pahalanya dan sangat luas manfaatnya bagi pembangunan mental dan spritual umat Islam. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ.
Artinya: “Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738)
Jika membangun masjid hanya sebesar sarang burung sudah berpahala besar di sisi Allah, apalagi kalau masjidnya dibangun besar dan megah. Disamping itu, di masjid-masjid yang megah dan bagus tersebut, pengurusnya juga mengkondisikan satu atau dua orang imam yang berkualitas. Ada yang hafizh 30 juz dan ada yang di bawah itu. Belum lagi jadwal kajian yang lumayan rutin dan rapi, yang diisi oleh beberapa Ustadz atau Buya yang juga lumayan berkualitas dalam keilmuannya. Sehingga masjid tersebut semakin berkah, penuh dengan agenda kebaikan dan amal shaleh.
Namun dibalik kebahagiaan dan kebanggaan tersebut, ada juga rasa prihatin menyelinap di dalam hati. Yaitu munculnya (pengurus) masjid-masjid yang sangat bersemangat untuk merombak bangunannya. Didesainlah gambar dan rancangan yang sangat indah dan megah. Dilengkapi dengan dua menara yang cantik, bahkan ada juga yang 4 menaranya. Akan tetapi semangat tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan keuangan yang memadai.
Kalau perkiraan biayanya sekitar 5 milyar rupiah misalnya, lalu modal yang ada baru sekitar 100 atau 200 juta, maka ini tentunya suatu yang tidak rasional. Sisanya akan dipungut infaq setiap hari dipinggir jalan, memasukkan proposal kesana dan kemari, termasuk kepada pemerintah. Sudah pasti dana yang besar tersebut tidak akan mudah terkumpul. Pemerintah juga tidak mungkin membantu sebuah masjid dengan dana sangat besar, lalu masjid yang lain tidak mendapatkannya. Kadang berbulan-bulan mencari infaq, baru dapat 10 persennya. Akibatnya, masjid tidak kunjung sudah.
Rasulullah Saw tidak menyuruh kita bermegah-megah dalam membangun masjid. Bahkan itu justru bisa jatuh kepada makruh. Kalau masih dalam batas kemampuan, masih mungkinlah dan masuk dalam kriteria mubah. Misalnya, biayanya total 3 milyar, dan modal sudah ada sekitar 1 atau 2 milyar, itu masih masuk akal. Atau masjid tersebut dibangun oleh pemerintah dengan APBD atau sumbangan pihak ketiga, atau seorang dermawan yang kaya raya. Yang jelas, dalam waktu yang tidak terlalu lama bangunan masjid itu selesai dan dapat digunakan dengan maksimal. Tapi kalau dipaksakan, justru akan mendatangkan mudharat. Rasulullah Saw menyebutkan salah satu tanda-tanda kiamat dalam haditsnya:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِد.
Artinya: “hari kiamat tak akan datang sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid.” (H.R Abu Dawud).
Anas ra. mengomentari hadits tersebut dan berkata, “Orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid, kemudian mereka tidak memakmurkannya kecuali hanya sedikit.” Sedangkan Ibnu Abbas mengatakan: “Sungguh kalian akan memperindah dan menghiasinya sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani memperindah dan menghiasi tempat ibadah mereka.” Begitulah kalau sudah mengarah kepada bermegah-megahan dalam hiasan dan ornamen, lalu mengabaikan isi (jamaah) masjid.
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu melarang menghiasi masjid dan memperindahnya, karena yang demikian itu dapat mengganggu shalat seseorang. Dan ketika beliau memerintahkan merehab Masjid Nabawi, beliau berkata: “Lindungilah manusia dari hujan, dan janganlah engkau beri warna merah atau kuning karena akan memfitnah (mengganggu) manusia (yang sedang beribadah).” (Shahih Bukhari 1 : 539). Jadi, arahan Umar ra. adalah membuat masjid yang aman dan nyaman dalam beribadah. Tidak mesti megah.
Ada sebuah prinsip yang sangat keliru yang diyakini oleh sebagian masyarakat atau pengurus masjid. Yaitu sebagian mereka menyatakan: “Membangun masjid itu gak bakal selesai-selesai.” Entah siapa yang mengajarkan prinsip ini. Akibatnya, pengurus masjid sibuk terus mencari uang dan membuat hutang untuk memperbaiki masjid, menukar keramik, merehab toilet dan sebagainya. Akibatnya membangun jamaah masjid dan memakmurkan agenda masjid dengan tafaqquh fiddin (belajar dan mengamalkan agama) menjadi tidak maksimal.
Yang Allah puji dan perintahkan itu adalah memakmurkan masjid. Sehingga jamaahnya menegakkan shalat-shalatnya secara benar, menunaikan zakat, beriman kepada Allah dan RasulNya dan hari akhirat, serta ikut dalam berjuang meninggikan kalimat Islam di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Sebagaimana dalam firmanNya.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِين.
Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At Taubah: 18).
Yang sangat perlu diperhatikan oleh pengurus masjid ketika berencana untuk merombak masjid adalah karena memang kebutuhan yang darurat, ukuran dan kualitas bangunannya sudah tidak layak bahkan mungkin berbahaya, kemudian dukungan dana masih dalam batas estimasi kemampuan kaum muslimin di sekitarnya. Dan pastikan, niatnya ikhlas semata-mata karena Allah. Bukan untuk berlomba-lomba kemegahan. Adapun kaum muslimin dari daerah lain yang jauh, tidak punya kewajiban untuk membangun masjid di daerah lain. Tugas mereka memakmurkan masjid mereka pula. Kecuali jika ada kelapangan dan kelebihan harta mereka.
Disamping itu, sebelum keputusan diambil untuk merombak sebuah masjid setelah syarat-syaratnya dipenuhi, adalah berkonsultasi dulu ke Majelis Ulama setempat. Baik itu MUI di kota atau Kabupaten setempat, maupun ke MUI Provinsi. Sebab arahan para Ulama sangat penting dan berharga dalam membimbing agenda-agenda amal shaleh kita. Apalagi, masjid yang lama itu dulu adalah wakaf dari kakek-nenek dan pendahulu kita. Tidak jarang mereka dahulu berwakaf dari tabungan padi, beras dan hasil tani mereka berbulan-bulan. Lalu dalam sekejap kita runtuhkan begitu saja. Lalu kemudian bertahun-tahun bangunan masjid yang baru tidak selesai-selesai juga.
Akan semakin miris rasanya, kalau masjid dibangun dengan harga yang mahal dan megah, anggarannya mencapai milyaran rupiah, dan berasal dari infaq kaum muslimin beramai-ramai, tapi masyarakat dan penduduk disekitarnya banyak yang masih faqir dan miskin, tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara baik, tidak punya biaya kalau mau berobat atau ke rumah sakit. Padahal membantu dan meringankan beban mereka hukumnya bisa mencapai wajib, sedangkan bermegah-megahan hanyalah mubah. Wallahu A’laa wa A’lam Bishshawab.