Oleh : Labai Korok Piaman
Alm KH. Zainudin MZ yang mengatakan semua orang boleh lebaran, yang puasa boleh lebaran, yang ungkang-ungkang gak puasa juga boleh lebaran, bahkan yang bukan non muslim pun boleh lebaran, itulah dinamakan budaya kebiasaan lebaran.
"Tapi tidak semua orang bisa & boleh merasakan Hari Raya Idul Fitri, sebab syarat seseorang memperoleh sertifikat Hari Raya Idul Fitri itu harus menyempurnakan bilangan puasa Ramadhannya (bisa 29, bisa 30 hari) dan kemudian mengagungkan Takbir (Hari Raya)", ungkap beliau saat menjelaskan maksud ayat 185 pada Q.S Al-Baqarah dalam ceramahnya.
Jadi bisa disimpulkan budaya lebaran menurut Penulis adalah perayaan kemeriahan setelah Puasa Ramadan. Perayaan lebih secara fisik dan sosial dari turun temurun di Ranah Minang seperti dengan mudik, bermaaf-maafan, hiburan, berpakain baru dan tradisi lainnya.
Namun yang namanya urang awak, budaya Lebaran Minang (Barayo) itu sebuah magnet terbesar dalam kehidupan dikampung, akhirnya orang pun rantau taragak pulang untuk Barayo. Penulis mencoba mengupas budaya Barayo khusus urang (anak) mudo Piaman atau Minangkabau secara umum. Kebiasan anak muda Piaman menikmati kehidupan Hari Raya Idul Fitri (Ied).
Perlu diketahui bahwa kehidupan budaya Piaman sangat khas, disaat menikmati kehidupan hiruk pikuk hari lebaran Ied. Yang diistilahkan urang Piaman yaitu "Barayo" atau budaya rutinitas kehidupan saat Ied.
Budaya Barayo Piaman itu diawali dengan setelah pelaksanaan ritual ibadah maka biasanya anak padusi (perempuan) lah balaki (bersuami). Bagi para menantu perempuan akan pergi bersilaturahim kerumah mertua ditemani oleh suami, beserta anak-anak atau dilaksanakan dengan rombongan keluarga.
Begitu juga, anak mudo-mudo baik laki-laki atau perempuan pasti Barayo mengunjungi tempat wisata dengan memakai fasiltas baru seperti mobil baru, pakaian baru, pernak pernik baru. Untuk lebaran dan Pai Barayo tersebut serba baru karena Budaya Barayo identik dengan hal-hal serba baru.
Seperti biasa, saat malam 1 Syawal ada beberapa tempat diadakan Takbiran Keliling dengan memakai obor. Setelah selesai Sholat Ied, malamnya masyarakat terkhusus para pemuda melakukan kegiatan acara halal bi hallal dengan mengundang musik gambus atau terkadang ada orgen tunggal dikampung bersama perantau dan semua anak nagari sambil mengumpulkan dana pembangunan nagari.
Selain itu budaya Barayo urang mudo Piaman juga dilakukan dengan cara pergi berkunjung kerumah istri anak mudo yang belum genap 1 tahun pernikahannya. Yaitu anak mudo baru menikah namun saat ini jatun hari rayo Ied pertama yang dilaluinya. Maka seluruh anak mudo bersama Pai Barayo kerumah istrinya tersebut.
Kebiasaan pergi Barayo kerumah mertua penganten baru tersebut dilakukan bergiliran setiap hari. Jika banyak pasangan penganten baru tersebut maka jadwal diatur. Hari ini barayo kerumah si midun, besok rumah si udin besok lagi, dan besok lagi. Pokoknya setiap hari semua anak mudo melakukan kebiasan tersebut.
Terkadang budaya barayo karumah urang babaru-baru (pasangan penganten) tersebut sudah disusupi budaya negatif asing dan aseng seperti ada hiburan orgen atau dihibur dengan adanya minuman-minuman beralkohol yang bisa memabukan anak mudo tersebut.
Budaya barayo ini sangat dinikmati oleh anak-anak mudo Piaman. Setelah itu biasanya budaya barayo ini ditutup dengan "bagadang malam" (acara hiburan makan-makan bersama) dengan bakar ikan, ayam, kambing dan lainnya. Bagadang malam semua anak mudo hadir baik yang pulang rantau maupun yang dikampuang. Pesta pora.
Barayo urang mudo Piaman memang menghasilkan, itu yang Penulis rasakan. Namun barayo ditahun 1443 H ini perlu ditinggalkan kebiasaan budaya lamo sepertinya, walaupun itu payah/susah.
Barayo tahun ini perlu dibuat budaya barayo model baru yang perlu dinikmati agar kegembiraan dan kebahagian disaat fitri ini tetap ada. Barayo lah dengan kesederhanaan dan penuh hikmat, utamakan ibadah dari pada budayanya[*].