Oleh: Labai Korok Piaman
Penulis bersuku Koto, turunan dari amak, atau Mande perempuan. Sedangkan orang tuo laki-laki basuku Panyalai, berarti warih Minangkabau ambo anak pisang urang Panyalai. Baitu warih nan bajawek dari sisilah keturunan Bagindo Yohanes Wempi yang perlu sama dinformasikan.
Secara kesukuan Penulis tentu bangga dengan suku Koto yang disematkan didiri karena sepengetahuan Penulis, suku Koto merupakan satu dari empat suku yang terdapat dalam dua klan induk dalam etnis Minangkabau.
Tambo yang ada bahwa etnis Minangkabau memiliki dua klan, suku dalam bahasa orang Minangkabau yaitu klan atau suku Koto Piliang dan klan atau suku Bodi Chaniago. Artinya ado Koto induk piliang serta Chaniago juga sebagai induk yang lain.
Dalam uraian sastrawan sekaligus Penulis "A.A. Navis" dalam bukunya berjudul "Alam Terkembang Jadi Guru", menjelaskan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, di mana dahulu benteng. Namun dahulu cerita benteng ini terbuat dari bambu.
Dikawasan dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung atau perkampungan koto.
Sejarah tambo menjelaskan dahulu suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang, tetapi karena perkembangan populasinya atau jumlah keturunan yang banyak maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang.
Perlu diketahui suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran "aristokratis militeris", di mana falsafah kehidupan suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan, "Besar karena diagungkan oleh orang banyak.
Dari carito nan tuo-tuo Penulis dapatkan bahwa konon menurut sejarah, orang Minangkabau yang bersuku Koto, tidak akan dimakan oleh buaya jika terdampar di muara, hanyut di laut, bahkan ketika berenang di sungai yang banyak buayanya sekalipun.
Karena ada unsur mistik ‘suku awak ko, ado karomahnya, awak indak ka dimakan buayo, karano buayo tuw palinduang orang suku Koto’,(suku kita ini, memiliki keistimewaan, orang yang bersuku Koto tidak akan dimakan oleh buaya, karena buaya adalah penjaga kita).
Entah perjanjian atau kebaikan apa yang telah dilakukan oleh tetua suku Koto dahulunya, sehingga buaya pun enggan memangsa orang minang yang bersuku Koto. Tentang cerita buaya diatas itu hanya cerita kaba bisa dipercaya atau tidak, tapi jangan sirik.
Sedangkan diliat dari Sifat orang suku Koto di anggap berkarakter keras dan disiplin akan sesuatu. Keras urang suku Koto diakui oleh sejarah yang ada. Namun satu keistimewaan suku Koto yaitu walaupun satu suku namun beda Datuak, beda Penghulu maka sesama suku koto boleh saling menikah antara laki Koto dengan perempuan suku Koto beda Datuak.
Beda dengan suku lain, tidak akan diizinkan menikah jika satu suku, walaupun datuknya berbeda, penghulunya berbeda. Dilarang saling menikah satu suku. Jika pantang dilanggar maka terkena sangsi secara adat nan ditarimo.
Tulisan ini sekedar cerita suku Koto yang perlu dipahami bersama, tidak ada maksud lain seperti menganjung-anjungkan kehebatan suku Koto Penulis untuk tujuan sombong. Anggap tulisan ini sebagai karya ilmiah yang perlu dipahami bersama[*].